SEPUTAR QUR'BAN


Oleh : Fahrurroji Firman Al-Fajar, S.Pd.I., M.Pd

(Bidang Sosialisasi Lazismu Panawuan/ Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah Garut)

Disampaikan pada acara pertemuan Shohibul Qurban

PR Muhammadiyah Panawuan Lebak

24 Juni 2023

A.    PENGANTAR

Sebagai ikhtiar keutamaan ibadah, Rasanya tidak berlebihan ketika penulis mencoba mesyiar ulang apa yang disampaikan para ulama dan mubaligh terkait shahibul qurban. Sebab pada hakikatnya manusia ingin memiliki dan menguasai apa yang dimilikinya, bahkan secara naluriah manusiawi setiap orang takut kekurangan dan kehilangan harta, sedangkan qurban mengisyaratkan sesuatu yang dimiliki itu harus dibagi. Sehingga hanya orang orang yang kuat yang mampu melaksanakan ibadah qurban, yakni orang orang yang mau melawan rasa takut kehilangan dan kekurangan, tidak hanya itu, Qurban juga hanya akan bisa dilakukan oleh orang orang yang sedang jatuh cinta kepada Alloh, sebab bagi orang-orang yang sedang jatuh cinta akan mampu melaksanakan sesuatu yang berat bagi dirinya demi yang dicintainya. Maka dari itu, dibalik perintah syariat qurban, Alloh mengisyaratkan kita  untuk menjadi hamba yang kuat dan hamba pecinta, sehingga model perintah qurban ini adalah nabi Ibrahim yang merangkum kekuatan dan kecintaan kepada Alloh.

Kecintaan kepada Alloh ini perlu dikawal sebab setan tidak akan pernah suka setiap insan hamba Alloh menjadi hamba yang kuat dan welas asih, bahkan utama ibadahnya. Dalam ikhitar itu, kita selaku shohibul qurban mesti mengutamakan adab kepada Alloh ketika melaksanakan Ibadah Qurban, sejak dari niat (motif), kaifiyat (cara) bahkan ghayat (tujuan).  

 

B.     PEMBAHASAN

1.      Niat Qurban

Pembahasan berkenaan dengan niat, erat kaitan dengan urusan Aqidah dalam pelaksanaan ibadah Qurban, menjadi jelas standar benar niat seseorang melaksanakan ibadah qurban berhubungan dengan aqidah seseorang, yakni kata kuncinya adalah keikhlasan, dalam arti tidak ada motif selain Alloh.

2.      Kaifiyat Qurban

Pembahasan berkenaan dengan kaifiyat (tata Cara) erat kaitan dengan bagaimana Rasul mencontohkan pelaksanaan ibadah Qurban. Sehingga standar benar dari tata cara kita melaksanakan ibadah Qurban yakni bagaimana rasul mencontohkan, sebagai ikhitar kecil penulis, mencoba mengurai secara sederhana dari mulai sebelum sampai dengan setelah penyembelihan.

a.      Sebelum penyembelihan

1)      Siapa Shihibul Qurban

Orang yang mempunyai kelapangan (mampu berkurban) sangat dianjurkan untuk melaksanakan kurban, bahkan menjadi sesuatu yang tidak disukai apabila orang yang mampu untuk berkurban tetapi tidak melaksanakannya. Sebaliknya, orang yang tidak mempunyai kelapangan (tidak mampu berkurban), maka tidak ada anjuran baginya untuk melaksanakan kurban.  Sehingga dalam nishab qurban itu hendaknya hati hati dalam mawas diri.Lalu atas nama siapa yang berqurban itu?

عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ قَالَ سَأَلْتُ أَبَاأَيُّوْبَ اْلأَنْصَارِيَّ كَيْفَ كَانَتِ الضَّحَايَا فِيْكُمْ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كَانَ الرَّجُلُ فِى عَهْدِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُضَحِّى بِالشَّاةِ عَنْهُ وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ فَيَأْكُلُوْنَ وَيُطْعِمُوْنَ تُبَاهِى النَّاسُ فَصَارَ كَمَا تَرَى. [رواه ابن ماجه والترمذي وصححه].

Diriwayatkan dari ‘Atha’ Ibnu Yasar, ia berkata: Saya bertanya kepada Abu Ayyub al-Anshariy; bagaimana qurban-qurban yang kamu lakukan pada masa Rasulullah saw? Ia menjawab: Ada seseorang pada masa Rasulullah saw berqurban dengan seekor kambing untuk dirinya dan anggota rumah tangganya………..[HR. Ibnu Majah dan At-Turmudzi, dan menshahihkannya].

Dalam hadits di atas telah jelas bahwa dalam pelaksanaan ibadah qurban, satu ekor hewan qurban adalah untuk berqurban bagi semua anggota keluarga. [1]

Lalu bagimana Qurban untuk (atas nama) orang yang sudah meninggal dunia tidak boleh. Hal ini didasarkan kepada beberapa dalil diantaranya; QS an-Najm (53): 38-39. “(yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. dan bahwasanya seorang manusia tidak memperoleh selain apa yang telah diusahakannya”. Kecuali karena; Adanya nadzar semasa hidupnya atau Adanya wasiat dari orang yang meningglkan dunia[2]

2)      Kepanitiaan Qurban

Kepanitiaan Qurban berbeda dengan kepanitiaan zakat, dimana posisi panitia sebagai amil berhak mendapatkan bagian dari hewan qurban secara tekstual termaktub dalam Al-Qur’an.  Akan tetapi Kepanitian qurban pada saat ini sangat diperlukan dalam rangka efektivitas dan efesiensi pelaksanaan ibadah qurban,. Hal ini didasarkan pada beberapa hadis yang menjelaskan pelaksanaan qurban Rasulullah, diantaranya;

Sungguh Ali bin Abi Thalib menceritakan bahwa Nabi saw. memerintahkan Ali agar ia melaksanakan qurban dan memerintahkan pula agar ia membagikan semuanya dagingnya, kulitnya dan pakaiannya dan beliaupun agar tidak memberikan sedikitpun dari hewan qurban dalam pekerjaan jagal”.(HR. al-Bukhari)

Sungguh Ali bin Abi Thalib menceritakan bahwa Nabiyullah saw. memerintahkan agar ia melaksanakan qurban Nabi dan memerintahkan pula agar ia membagikan semuanya dagingnya, kulitnya dan pakaiannya pada orang-orang miskin dan beliaupun agar tidak memberikan sedikitpun dari hewan qurban dalam pekerjaan jagal”.(HR. Muslim)

Dengan demikian, baik dalam al-qur’an maupun al-Hadis tidak ada satupun yang menjelaskan adanya orang yang ditugasi untuk menjadi pengurus dalam pelaksanaan qurban (panitia qurban). Kendatipun demikian, untuk kelancaran (efektifitas dan efesiensi) pelaksanaan qurban dipandang perlung adanya semacam kepanitian.

Sementara dilihat dari aspek hak, panitia atau jami’ qurban bukanlah mustahiq tersendiri melainkan tidak terlepas dari kategori al-qani’ dan al-mu’tar sebagaimana telah disebutkan di atas. Dengan perkataan lain, kedudukan panitia berbeda dengan ’amil pada ketentuan distribusi zakat. Karena itu, mereka mendapatkan bagian daging qurban dan sebagainya bukanlah sebagai upah kepanitian. Adapun porsi bagian panitia kembali lagi kepada mandat yang diberikan shahibul qurban, bebas (muthlaqah) atau terikat (muqayyadah).

3)      Saham Qurban

Saham qurban secara keseluruhan meliputi berapa nominal uang yangharus dikeluarkan untuk qurban, dan berapa ketentuan hewan qurban untuk disembelih. Berkenaan dengan jumlah nominal uangyang harus dikeluarkan ketika qurban, ini ada di wilayah muamalah (hasil survey harga dan kesepakatan dengan panitia), adapun ketentuan terkait untuk berapa orang untuk disembelih, ini ada di wilayah ibadah (fikih). Maka berkaitan dengan jumlah hewan diatur dalam urusan agama : kambing untuk satu orang, sapi untuk 7 orang dan unta 10 orang. [3]

Sebagai ibadah yang telah disyariatkan memiliki batasan dan aturan yang telah ditetapkan syariat. Aturan kurban kolektif adalah satu ekor kambing untuk satu orang, satu ekor sapi dan kerbau untuk maksimal tujuh orang serta satu ekor unta untuk maksimal sepuluh orang dengan melihat kondisi hewan masing-masing. Apabila sahibul kurban mampu berkurban satu ekor sapi untuk dirinya atau sahibul kurban mampu berkurban dua ekor kambing atas nama dirinya, maka tidaklah mengapa.[4] Adapun jika kolektif/urunan maka status pengeluaran uang tersebut adalah shadaqoh

4)      Rangkaian ibadah qurban

a)      Larangan memotong sejak tanggal 1 sampai dengan 10 dzulhijjah

Terdapat hadis tentang larangan memotong kuku dan rambut. Hadis ini memicu perdebatan di antara para ulama. Mereka berselisih apa yang dimaksud hadis tersebut untuk shahibul kurban atau hewan kurban. Hadis tersebut berbunyi:

إذا رأيتم هلال ذي الحجة، وأراد أحدكم أن يضحي، فليمسك عن شعره وأظفاره

Jika kalian melihat hilal Zulhijah, dan di antara kalian ada yang ingin berkurban, maka hendaklah dia menahan (tidak memotong) sebagian rambutnya dan kukunya (HR. Muslim).

“Ini ada perbedaan, rambutnya siapa yang tidak boleh dipotong, hewan korbannya atau shahibul kurban? Kukunya siapa yang tidak boleh dipotong, hewannya atau shahibul korbannya? Ini kita harus perhatikan dhamirnya kembali ke mana.

Berdasarkan Fatwa Tarjih, kata Ali, hadis di atas memberikan keterangan bahwa shahibul kurban tidak diperkenankan untuk memotong kuku dan rambut. Jadi, kata ganti (dhamir) “hu” dalam hadis ini tidak kembali ke hewan kurban, melainkan ke shahibul kurban.

 

Hal ini diperkuat dengan hadis lain yakni:

“Aku diperintah untuk menjadikan hari kurban sebagai hari raya yang Allah Azza wa jalla jadikan untuk umat ini, ” lalu seseorang berkata; bagaimana pendapatmu jika aku tidak mendapatkan kecuali hewan betina untuk diambil susunya, apakah aku menyembelihnya, beliau bersabda: “Tidak, tapi potonglah rambutmu, kukumu, kumismu dan bulu kemaluanmu maka itu adalah kesempurnaan kurbanmu disisi Allah Azza wa jalla.”

Hadis di atas menginformasikan bahwa kuku dan rambut yang tidak dipotong atau dicukur merujuk kepada kuku dan rambut shahibul kurban, bukan kuku dan rambut hewan kurban. Selain itu, hadis ini mengindikasikan bahwa membiarkan rambut dan kuku tumbuh sejak tanggal 1 Zulhijah dan kemudian mencukur dan memotongnya setelah penyembelihan hewan kurban merupakan bagian dari keutamaan dalam ibadah kurban.

b)     Takbiran

Para sahabat ialah perkataan Ali dan Ibnu Mas’ud (yang mengatakan) bahwa itu adalah mulai dari shubuh Arafah sampai hari-hari Mina yang terakhir. (Riwayat Ibnul Mundzir dan lain-lainnya)

وَ لِمَا رَوَاهُ اْلبَيْهَقِى وَالدَّارُقُطْنِى أَنَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَبَّرَ بَعْدَ صَلاَةِ الصُّبْحِ يَوْمَ عَرَفَةَ إِلَى اْلعَصْرِ آخِرِ أَيَّامِ التَّشْرِيْقِ، وَاْلحَاكِمُ أَيْضًا مِنْ وَجْهٍ آخَرَ عَنْ قَطْرَ ابْنِ خَلِيْفَةَ عَنْ أَبِي اْلفَضْلِ عَنْ عَلِيٍّ وَعَمَّار قَالَ: وَهُوَ صَحِيْحٌ. وَصَحَّ مِنْ فِعْلِ عُمَرَ وَعَلِيٍّ وَابْنِ عَبَّاسٍ وَ ابْنِ مَسْعُوْدٍ

Artinya: Dan beralasan pada riwayat al-Baihaqi dan ad-Daruquthni (yang mengatakan): bahwa Nabi saw. membaca takbir sesudah dhalat shubuh pada hari Arafah sampai Ashar hari Tasyriq terakhir.[5]

c)      Puasa arafah

Nampak jelas

5)      Hewan Qurban

Kriteria hewan untuk kurban dapat dilihat dari tiga aspek, yaitu; Pertama, kriteria secara fisik, yakni hewan untuk kurban hendaknya yang sehat, baik dan tidak cacat. Berdasarkan petunjuk hadis-hadis Nabi, hewan yang layak dan pantas dijadikan hewan kurban, di antaranya: 1) Al-Aqran, hewan yang bertanduk lengkap; 2) Samin, yaitu hewan yang gemuk badannya atau berdaging; dan 3) Al-Amlah, yaitu hewan yang warna putihnya lebih banyak daripada warna hitamnya.[6]

6)      Akad

Mukhathab atau orang yang diajak berdialog pada al haj ayat 36 adalah shahib qurban. oleh karena itu Dari situ dapat kita pahami bahwa pada dasarnya otoritas pengelolaan hewan qurban sepenuhnya berada di tangan shahibul qurban. Namun jika Shahibul qurban memberikan mandat (wakalah) pengurusan qurbannya kepada panitia atau jami’ qurban, maka tergantung bentuk wakalah yang digunakan: bebas (muthlaqah) ataukah terikat (muqayyadah)?

Dalam mandat terikat (wakalah muqayyadah) panitia tidak bebas dalam menetapkan kebijakan pengelolaan hewan qurban, baik berkenaan dengan porsi yang hendak dibagikan, jumlah maupun sasaran penerima. Sementara dalam mandat bebas (wakalah muthlaqah) kebijakan sepenuhnya berada di tangan panitia. Bentuk mandat pengelolaan hewan qurban demikian itu merujuk kepada hadis sebagai berikut:

عَنْ عَلِيِّ بْنِ اَبِي طَالِبٍ قَالَ : أَمَرَنِى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَنْ أَقُوْمَ عَلَى بُدْنِهِ وَاَنْ أَتَصَدَّقَ بِلُحُومِهَا وَجُلُودِهاَ وَأَجِلَّتِهَا وَاَنْ لاَ أُعْطِيَ الْجَازُرَ مِنْهَا شَيْئًا وَقَالَ نَحْنُ نُعْطِيْهِ مِنْ عِنْدِنَا

Dari Ali bin Abu Thalib, ia berkata, ”Rasulullah saw. telah memerintahkan aku untuk mengurus unta (qurbannya) dan memerintah agar aku menyedekahkan dagingnya, kulitnya dan pakaiannya (aksesori); dan jangan sedikitpun memberikan daging kurban kepada (orang) yang menyembelihnya (sebagai upah menyembelih)”. Ali berkata, “Kami suka memberinya (upah) dari kami sendiri.” HR. Muslim.[7]

Dalam riwayat al-Bukhari dengan redaksi:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَهُ أَنْ يَقُومَ عَلَى بُدْنِهِ وَأَنْ يَقْسِمَ بُدْنَهُ كُلَّهَا لُحُومَهَا وَجُلُودَهَا وَجِلَالَهَا وَلَا يُعْطِيَ فِي جِزَارَتِهَا شَيْئًا

”Nabi saw. telah memerintahnya untuk mengurus unta (qurbannya) dan menyedekahkan seluruh unta (qurbannya): dagingnya, kulitnya dan pakaiannya (aksesori); dan jangan sedikitpun memberikan daging kurban kepada (orang) yang menyembelihnya (sebagai upah menyembelih).

Keterangan di atas menunjukkan bahwa Ali bin Abu Thalib, sebagai pengurus, mendapatkan dua bentuk wakalah sekaligus: bebas (muthlaqah) dan terikat (muqayyadah). Dalam hal siapa saja pihak penerima dan berapa besar porsi untuk masing-masing pihak penerima, Ali mendapat mandat bebas (wakalah muthlaqah). Sementara tentang bagian hewan qurban yang hendak dibagikan dan upah bagi penyembelih (jagal), ia mendapat mandat terikat (wakalah muqayyadah).

Prosesi mandat Nabi saw. kepada Ali, lebih jelas diterangkan pada riwayat lain sebagai berikut:

أَمَرَنِي رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم أَنْ أَنْحَرَ الْبُدْنَ ، وَأَنْ أَتَصَدَّقَ بِلُحُومِهَا ، فَرَجَعْتُ إِلَيْهِ أَسْأَلُهُ عَنْ جِلاَلِهَا وَجُلُودِهَا ، فَأَمَرَنِي أَنْ أَتَصَدَّقَ بِهَا.

”Rasulullah saw. telah memerintahkan aku untuk menyembelih unta (qurbannya) dan agar aku menyedekahkan dagingnya. Lalu aku kembali menemui beliau untuk bertanya tentang pakaian (aksesori) dan kulitnya. Maka beliau memerintahkan aku untuk menyedekahkannya.” HR. Abu Ya’la dan an-Nasai, dengan sedikit perbedaan redaksi. Redaksi di atas versi Abu Ya’la.

Dari mandat terikat itu kita dapat pahami, sekiranya Shahibul qurbanmemberikan mandat kepada panitia agar menyedekahkan tali hewan qurban, misalnya, maka panitia mesti menyedekahkannya, tidak boleh mengambil jadi hak milik panitia atau membuangnya. Begitu pula dengan bagian-bagian lain dari hewan qurban.

b.      Ketika penyembelihan

1)      Penyembelih

Orang yang  menyembelih hewan qurban diutamakan shahibul qurban (orang yang berqurban) sendiri, sebagaimana dilakukan oleh Rasulullah SAW. Apabila  shahibul  qurban  tidak  mampu  untuk  menyembelih  sendiri  hewan qurbannya, penyembelihan bisa dilakukan (diwakilkan) oleh orang lain[8]

2)      Waktu penyembelihan

Waktu  yang ditetapkan  untuk  pelaksanaan  penyembelihan  hewan Qurban  adalah  sejak  selesai  shalat  Idul  Adha  tanggal  10  Dzulhijjah  sampai terbenam  matahari pada tanggal 13 Dzulhijjah. Hal ini didasarkan pada dalil-dalil berikut:

لِّيَشۡهَدُواْ مَنَـٰفِعَ لَهُمۡ وَيَذۡڪُرُواْ ٱسۡمَ ٱللَّهِ فِىٓ أَيَّامٍ۬ مَّعۡلُومَـٰتٍ عَلَىٰ مَا رَزَقَهُم مِّنۢ بَهِيمَةِ ٱلۡأَنۡعَـٰمِ‌ۖ فَكُلُواْ مِنۡہَا وَأَطۡعِمُواْ ٱلۡبَآٮِٕسَ ٱلۡفَقِيرَ -٢٨

  Supaya  mereka  mempersaksikan  berbagai  manfaat  bagi  mereka  dan supaya mereka  menyebut  nama  Allah  pada hari  yang  telah  ditentukan  atas rizki yang  telah  Allah  berikan  kepadanya  berupa  ternak,  maka  makanlah sebagianh  dari  hewan  (qurban)  dan  berilah  makan  olehmu  orang  yang sengsara lagi fakir. (QS. al-Hajj:28)

Dari Jubair bin Math’am dari Nabi SAW beliau bersabda: ”Semua hari Tasyriq adalah waktu penyembelihan (hewan qurban)”. ( HR. Ahmad). Adapun sebagian para ulama mengutamakan penyembelihan sebaiknya dilakukan pada tanggal 10 dzulhijjah, dikarenakan selain dari tanggal 10 dzulhijjah itu statusnya hadyu (penymbelihan yang bagi orang yang berhaji), sekalipun kami belum mendapatkan informasi utuh berkenaan dengan hal tersebut, ada baiknya dalam ibadah itu menyegerakan.

3)      Tata carapenyembelihan

Adapun cara penyembelihan hewan qurban harus memenuhi tata cara penyembelihan dan syarat-syaratnya, yaitu;

§  Menggunakan alat penyembelihan yang tajam.

Diriwayatkan  dari  Syaddad  ibn  Aus  ra.  dari  Rasulullah  SAW,  beliau bersabda: Ada  dua  hal  yang  senantiasa  aku  jaga  yang  berasal  dari Rasulullah  saw.  Rasulullah  bersabda:  “Allah  memerintahkan  untuk berbuat  kebaikan  kepada  segala  sesuatu.  Apabila  kamu  membunuh, maka  baguskanlah  cara  dan  keadaan  dalam  membunuh,  dan  apabila kamu  menyembelih,  maka  baguskanlah  penyembelihannya,  dan hendaklah  menajamkan  pisaunya,  dan  menenangkan  hewan sembelihannya” (HR Muslim)

§  Menghadapkan hewan ke arah kiblat

Berdasarkan hadis dari Abu Dawud:

Diriwayatkan dri Jabir bin Abdillah al-Anshary bahwa Rasulullah SAW pada hari Raya menyembelih dua kibasy, kemudian ketika beliau menghadapkan kedua kibasy tersebut beliau berdo’a; Sesungguhnya  aku  hadapkan  wajahku  kepada  Dzat  yang  telah menciptakan  langit  dan  bumi  dengan  tulus  ikhlas  dan  menyerahkan  diri dan aku bukanlah golongan orang-orang musyrik. Sesungguhnya shalatku, pengabdianku,  hidupku  dan  matiku  adalah  untuk  Allah  Dzat  yang menguasai alam semesta.  Tidak ada sekutu bagi-Nya, dan demikian aku diperintahkan dan aku termasuk orang-orang muslim. Dengan menyebut nama Allah, Allah Maha Besar, ya Allah (qurban ini) dari-Mu dan untukMu  dan  dari  Muhammad  dan  umatnya.  Bismillahi  Allahu  Akbar. Kemudian beliau menyembelihnya.” (HR Abu Dawud)

Hewan yang hendak disembelih dihadapkan ke kiblat, yaitu pada bagian leher  yang  akan disembelih.  Karena  itulah  arah  untuk  mendekatkan  diri kepada Allah. Posisi kepala hewan yang akan disembelih boleh di sebelah utara dan boleh di sebelah selatan[9]

4)      Do’a




Sesungguhnya  aku  hadapkan  wajahku  kepada  Dzat  yang  telah menciptakan  langit  dan  bumi  dengan  tulus  ikhlas  dan  menyerahkan  diri dan aku bukanlah golongan orang-orang musyrik.Sesungguhnya shalatku, pengabdianku,  hidupku  dan  matiku  adalah  untuk  Allah  Dzat  yang menguasai alam semesta. Tidak ada sekutu bagi-Nya, dan demikian aku diperintahkan dan aku termasuk orang-orang muslim. Dengan menyebut nama Allah, Allah Maha Besar, ya Allah (qurban ini) dari-Mu dan untukMu dan dari ….(sebutkan nama shahibul qurban) (HR Abu Dawud).[10]

5)      Jatah Pembagian

Berkenaan dengan jatah dari hasil qurban untuk shahibul, atau bukan shahibul qurban termuat dalam al-qur’an :

فَإِذَا وَجَبَتْ جُنُوبُهَا فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ

“Kemudian apabila telah roboh (mati), maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta.” QS. Al-Hajj: 36

Pada firman-Nya di atas terdapat dua fi’il amr (kata perintah), yang keduanya ditujukan kepada  shahib qurban, atau mudhahhi (orang yang berkurban), sebagai mitra dialog (mukhathab) ayat tersebut. Kedua fi’il amr dimaksud meliputi:

Pertama, Kuluu (makanlah) Pada dasarnya, perintah ”makan” menunjukkan makna ”boleh memakan” (lil ibaahah), bukan bermakna ”wajib memakan” (lil wujuub). Jika demikian halnya, kenapa makan mesti disebut-sebut? Bahkan dengan menggunakan bentuk kata perintah ”kuluu” terkesan dianjurkan, padahal tanpa anjuran pun makan itu sudah menjadi kebutuhan pokok manusia. Hemat kami, meski menunjukkan lil ibaahah, penggunaan bentuk kata perintah ”kuluu”, hendak menunjukkan bahwa makan bagi umat Islam bukan semata-mata untuk memenuhi rasa lapar, tapi memiliki nilai-nilai ibadah, artinya makan bukan sebagai tujuan namun sebagai sarana.

Sehubungan dengan itu, dalam konteks kurban, kalimat kuluu (makanlah) perlu diungkap bahkan ditekankan karena ada misi yang amat mulia, yaitu agar kaum muslimin bersikap mukhaalafah (sengaja berbeda, menyalahi) kebiasaan orang jahiliyyah. Di mana mereka yang berkurban tidak mau bahkan mengharamkan untuk memakan daging kurban mereka. Karena itu tidak mengherankan apabila ada sebagian ulama yang menyatakan bahwa perintah makan pada ayat ini menunjukkan lin nadbi, artinya makan daging kurban itu hukumnya mandub (disunatkan) bagi qurbani.

Kedua, ‘Ath’imuu (berilah makan atau bagikanlah) Perintah ”membagikan daging kurban” pada ayat ini menunjukkan lin nadbi, maknanya membagikan daging kurban itu hukumnya mandub (disunatkan) bagi qurbani, bukan lil wujuub (wajib memberi).

Pada firman-Nya di atas terdapat petunjuk yang jelas bahwa mustahiq (yang berhaq) atas daging qurban itu terbagi atas tiga golongan: Pertama, Shahibul qurban(yang berkurban). Kedua, Al-Qani, yaitu orang yang ridha dengan sesuatu yang dimilikinya dan tidak pernah meminta. Meskipun suatu saat ia terpaksa harus meminta untuk memenuhi kebutuhannya, ia tidak pernah memaksa. Ketiga, Al-Mu’tarr, yaitu orang yang berani meminta untuk memenuhi kebutuhannya, bahkan terkadang meminta secara memaksa. Meski begitu, pada ayat ini tidak dijelaskan ukuran yang pasti berapa banyak daging yang boleh dimakan dan dianjurkan untuk dibagikan itu. [11]

Baik dalam ayat al-Qur’an maupun dalam Hadits tidak dijelaskan tentang berapa bagian masing-masing yang diberikan. Namun jika dilihat banyaknya dan intensitas perintah dalam Al-Qur’an untuk memperhatikan kaum fakir miskin, maka hendaknya dalam membagi daging qurban juga lebih diperhatikan dan diprioritaskan untuk kaum fakir miskin, di samping untuk shahibul-qurban sendiri atau dishadaqahkan kepada yang lain

c.       Setelah penyembelihan

Qurban adalah ibadah yang memiliki dimensi spiritual yang kuat. Untuk menjaga nilai-nilai qurban, perlu ditingkatkan kesadaran spiritual dengan melaksanakan ibadah yang lain, seperti shalat, membaca Al-Qur'an, dan berzikir. Jaga kualitas ibadah dan tingkatkan hubungan dengan Allah SWT agar nilai-nilai qurban tetap terjaga dalam kehidupan sehari-hari.

Penting untuk senantiasa mensyukuri nikmat Allah atas karunia-Nya, termasuk kesempatan untuk berkurban. Menjaga nilai-nilai qurban berarti menyadari dan menghargai anugerah Allah yang telah memberikan kemampuan untuk berbagi dengan orang lain melalui Qurban. Selain itu, menjaga nilai-nilai qurban dengan berbagi rezeki kepada orang yang membutuhkan di sekitar Anda. Bantu mereka dalam bentuk apapun yang Anda mampu, baik itu memberikan sedekah, menyumbangkan waktu, atau memberikan bantuan materiil. Praktekkan sikap dermawan dan kepedulian sosial dalam kehidupan sehari-hari.

3.      Ghayat Qurban

Qurban tidak hanya memiliki nilai religiusitas saja, tapi juga makna sosial yang dalam. umat muslim tidak boleh menganggapnya sebagai ritual ibadah semata. Lebih dari itu juga bertujuan untuk memperkokoh iman dan memantapkan integrasi spiritual dan moral.Sementara tujuan sosial dari qurban ialah menumbuhkan cinta solidaritas dan penerimaan terhadap orang lain. Bagaimana umat muslim mau mengorbankan diri sendiri untuk kemaslahatan bersama.

“Rasulullah pernah bersabda bawah tidak sempurna keimanan seseorang sebelum ia mencintai orang lain seperti ia mencintai dirinya sendiri. Kalau kita lihat, perintah pelaksanaan kurban di surat Alkautsar juga disandingkan dengan kata salat. Berarti, ritual ibadah saja masih belum cukup. Perlu adanya kebijakan keterlibatan sosial di masyarakat,

C.    KESIMPULAN

Sebagai ibadah yang multidimensi (melibatkan hampir seluruh aspek dalam beragama) mulai dari aqidah, ibadah dan mumalah,  maka  qurban seyogyanya kita berusaha untuk lebih dekat dengan Alloh dan dekat dengan tuntunan Rasullloh, oleh karenanya sebagai standar ukuran Qurban itu sudah dimaknai dan dilaksanakan  sesuai tuntunan, maka kami memberikan alternatif standar, berkenaan dengan motif (niat qurban), itu standarnya adalah aqidah yakni keikhlasan, untuk berkaitan dengan ibadah itu standarnya adalah kepatuhan pada aturan yangdicontohkan rasul, dan terakhir untuk urusan mu’amalah standarnya adalah antaradimminhum (saling ridho)

Wallohu ‘alam





[1] Tanya jawab agama Muhammadiyah no 2 hal 171

[2] Pedoman Qurban Muhammadiyah

[3] https://suaramuhammadiyah.id/2022/06/08/satu-sapi-untuk-lebih-dari-tujuh-orang-kurban-atau-sedekah-biasa/

[4] https://suaramuhammadiyah.id/2022/06/08/satu-sapi-untuk-lebih-dari-tujuh-orang-kurban-atau-sedekah-biasa/

[5] Mukltamar XX tarjih Garut

[6] https://muhammadiyah.or.id/dasar-hukum-dan-hikmah-perintah-kurban/

[7] Lihat, Shahih Muslim, II:954, No. 1317.

[8] https://muhammadiyah.or.id/tuntunan-qurban/

[9] Tatacara penyembeliha buku Tanya jawab agama

[10] Pedoman idain muhammadiyah

[11] Pedoman seputra Qurban Muhammadiyah


Komentar

Postingan Populer